Jumat, 21 Agustus 2009

Kepuasan user terhadap Sales Force Automation System (SFA)

Kepuasan user merupakan respon dan umpan balik yang dimunculkan pengguna setelah memakai sistem tersebut. Sikap pengguna terhadap sistem informasi merupakan kriteria subjektif mengenai seberapa suka pengguna menggunakan sistem tersebut. Menurut Kim (1989) dalam Bokhari (2005) pengukuran kepuasan user terhadap sistem informasi dapat dikategorikan didalam 3 perspektif, yaitu :
1. User attitude towards Information System
2. User satisfaction in terms of information quality
3. User satisfaction in terms of percieved IS effectiveness
Ives et al 1983 dalam Gohmann, et al. (2005) menyatakan bahwa kepuasan user adalah suatu kondisi dimana user meyakini bahwa informasi yang tersedia di sistem sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan, Semakin lengkap informasi yang tersedia, maka akan semakin tinggi pula tingkat kepuasan user terhadap sistem secara keseluruhan. Penelitian empiris terhadap Model DeLone dan McLean (1992) yang dilakukan oleh McGill et al. (2003) menemukan bahwa perceived information quality dan perceived system quality merupakan variabel yang signifikan bagi user satisfaction. Sedangkan user satisfaction juga merupakan variabel yang signifikan bagi intended use dan perceived individual impact. Studi lain yang dilakukan Livari (2005) menunjukkan hasil bahwa perceived system quality dan perceived information quality merupakan variabel yang signifikan bagi user satisfaction, namun tidak sigfnifikan terhadap intensitas penggunaan system tersebut, dan User satisfaction juga merupakan variabel yang signifikan bagi individual impact.
So, Kepuasan user merupakan variabel penting di dalam kesuksesan sistem informasi. Dalam banyak penelitian (Ives et al. 1983; Bailey et al. 1983; Doll et al, 1988; Seddon et al, 1992; Mahmood et al. 2000; Doll et al. 2004; Livari, 2004; Landrum et al, 2004) dalam Lee, et al (2007), kesuksesan sistem informasi diwakili oleh kepuasan pengguna (user satisfaction)

Efektifitas Sales Force Automation System (SFA)

Efektifitas adalah kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat atau peralatan yang tepat untuk menentukan tujuan yang telah ditentukan. Efektifitas adalah suatu keadaan yang menunjukkan tingkat keberhasilan atau kegagalan kegiatan manajemen dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan terlebih dahulu. Pengukuran efektifitas sistem informasi sudah secara luas diteliti dan hal tersebut dianggap sulit, akan tetapi perlu dilakukan (Radecki,1976;Srinivisan,1985;Groter et al, 1996;Kanungo et al,1999). Menurut Yu (2005) literatur-literatur yang berkaitan dengan efektifitas sistem informasi dikelompokkan dalam tiga pendekatan, yaitu :
1. Perspektif Kontribusi untuk efisiensi organisasi pada proses kerjanya (seperti efisiensi waktu untuk pemrosesan data dan pengurangan tenaga kerja) (Attiyah ,1989;Gibson et al, 1999).
2. Perspektif kepuasan penguna (seperti kemudahan penggunaan, reliabilitas sistem) (Rockart et al,1983;Thong et al,1996).
3. Perspektif kontribusi untuk keuangan organisasi (Analisa Cost/Benefit,ROI) (Wagle,1998;Faleti,2001)
Pengukuran efektifitas sistem tidak dapat dilakukan secara sederhana, yaitu hanya dilakukan setelah sistem di implementasikan. Tetapi seharusnya dianalisa mulai dari pre-implementasi, pada saat implementasi dan setelah masa implementasi (reguler proses). Output dari pengukuran itu selanjutnya masih harus di-improve secara berkelanjutan sehingga akan terdapat dampak positif yang dapat dirasakan oleh users maupun para decision makers.

Pelatihan Sales Force Automation System (SFA)

Pengguna/User merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan penerapan suatu teknologi. Erffmeyer et al. (2001) dalam Gohmann et al,(2005) menyatakan bahwa organisasi seringkali mengindikasikan bahwa training merupakan hal utama yang perlu diperhatikan. Untuk kesuksesan training, program training seharusnya di sesuaikan dengan kondisi pekerjaan yang sesungguhnya sehingga di dapatkan kesesuaian dengan proses kerja yang akan dilakukan, Bramley (1991) dalam Lee et al, 2007. Sedangkan Morgan et al. (2001) dalam Gohmann et al,2005 juga menyatakan bahwa jika training yang diperlukan oleh salesforce sesuai maka salesforce akan lebih menerima dan mempergunakan sistem SFA dalam tugas rutin hariannya.
Menyadari bahwa operasionalisasi teknologi komputer menyangkut aspek manusia dan dampak perubahan yang disebabkannya, adalah penting untuk memperhatikan keberadaan manusia dalam pemanfaatan suatu teknologi. Banyak penelitian membuktikan bahwa faktor individu (cognitif style, math anxiety, computer anxiety, dan unfavorable attitudes toward computers) dan faktor organisasional (training dan dukungan organisasional) sangat berpengaruh terhadap kesuksesan pengadopsian teknologi informasi/komputer (Igbaria, 1990; Thomson, et. al., 1991). Hal ini sesuai dengan Morgan et al. (2001) dalam Gohmann et.al (2005), yang menyatakan jika kebutuhan training terpenuhi, sales force akan lebih menerima dan memanfaatkan sistem SFA dalam kegiatan rutin hariannya. Training/pelatihan sebagai alat untuk memperbaiki penampilan/kemampuan individu atau kelompok dengan harapan dapat memperbaiki performance organisasi. Perbaikan-perbaikan itu dapat dilaksanakan dengan berbagai cara. Pelatihan yang efektif dapat menghasilkan pengetahuan dalam pekerjaan/tugas, pengetahuan tentang struktur dan tujuan organisasi,tujuan-tujuan bagian tugas masing-masing karyawan dan sasarannya tentang sistem dan prosedur dan lain-lain (Robinson). Sedangkan Parthasarathy dan Sohi (1997), menyatakan dengan training yang cukup salesforce dapat menerima sistem dan menggunakan kemampuan sistem secara maksimal.
Jadi manfaat pelatihan adalah ;
1. Pelatihan sebagai alat untuk memperbaiki penampilan / kemampuan individu atau kelompok dengan harapan memperbaiki performance organisasi.
2. Keterampilan tertentu diajarkan agar para karyawan dapat melaksanakan tugas-tugas sesuai standar yang di inginkan.
3. Pelatihan juga dapat memperbaiki sikap-sikap terhadap pekerjaan, terhadap pimpinan atau karyawan, seringkali juga sikap-sikap yang tidak produktif timbul dari salah pengertian yang disebabkan oleh informasi yang membingungkan.
4. Bahwa pelatihan dapat memperbaiki standar keselamatan kerja

Akurasi Informasi Sales Force Automation System (SFA)

Pengertian informasi bersifat intangible (tidak dapat dilihat) dan nilainya (value) sangat sulit diukur. Tetapi perusahaan (business) saat ini menyimpan informasi dan menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang penting. Informasi dibentuk oleh komponen data, dimana data adalah fakta-fakta,simbol/karakter, data mentah atau observasi yang mengambarkan fenomena tertentu. Sedangkan informasi adalah data yang telah diproses sedemikian rupa atau disampaikan dalam model yang memiliki lebih banyak makna.
Informasi yang berkualitas merujuk pada output dari sistem informasi, menyangkut nilai, manfaat, relevansi, dan urgensi dari informasi yang dihasilkan (Pitt et al. 1997). Dimensi Informasi yang berkualitas (Information Quality) menurut Bailey et al. (1983) yaitu keakuratan informasi (accuracy), ketepatwaktuan (timeliness), kelengkapan informasi (completeness) dan penyajian informasi (format). Hal ini diperkuat oleh Wixon et al. (2001) dalam Gohmann,et.al (2005) yang menyatakan, terdapat hubungan yang signifikan dalam kualitas data dimana akurasi data adalah hal yang kritikal dan menjadi benefit dari kumpulan data.
Akurasi sebagai salah satu dimensi dari kualitas informasi merupakan output dari kombinasi master data sistem/induk data, data input user, internal proses di dalam sistem (CPU/Central Processing Unit) serta laporan ataupun informasi yang diolah dari proses-proses tersebut. Informasi sistem dihasilkan dari kombinasi master data produk, data input user, serta internal proses sistem (CPU/Central Processing Unit).
- Master data sistem yaitu : data utama yang harus dibuat dengan benar supaya transaksi bisa dilakukan, Masbukhin (2005). Master data untuk sistem SFA adalah data master yang meliputi master data produk,harga, customer dan employee. Pada master data tersebut terdapat atribute, dimana semakin lengkap informasi pada atribute tersebut maka informasi yang di dapatkan akan semakin lengkap. Kelengkapan master data akan mempermudah user didalam mengolah dan menggunakan informasi.
- Data input user, yaitu : data yang digunakan pada saat user melakukan transaksi. Jenis –jenis transaksi yang dilakukan tergantung desain proses bisnis. Untuk system SFA, jenis transaksi yang dilakukan adalah ; transaksi pencatatan informasi dari pelanggan, pencatatan data stock dan display produk di outlet, transaksi penjualan dan pembayaran dari pelanggan serta transaksi yang berkaitan dengan promosi ataupun survey yang dilakukan.
- Reporting adalah : Output dari sistem, yang merupakan kombinasi antara data input user dan konfigurasi/formulasi yang di set di dalam sistem (internal process). Tingkat kompleksitas reporting sangat tergantung dari kebutuhan user dalam menganalisis suatu proses / fakta. Reporting ini yang akan dipergunakan dalam proses analisis untuk pengambilan keputusan.

Rabu, 19 Agustus 2009

Challenging of Strategic Re-engineering

Berbagai macam tantangan di masa mendatang terhadap aplikasi dari Strategic Re-engineering adalah :
1. Cepatnya perubahan dari kondisi external yang akan “memaksa” adanya re-engineering terhadap strategi yang sudah dilakukan / dipersiapkan.
2. Fleksibilitas / Kemampuan / Capability sumber daya dari internal organisasi :
a. Mendeteksi / menangkap informasi adanya perubahan pada kondisi external.
b. Ketersediaan data pendukung yang dapat dipergunakan sebagai pendukung informasi dari perubahan kondisi external.
c. Mengolah berbagai macam informasi untuk mendapatkan akurasi dari dampak perubahan tersebut.
d. Merumuskan strategi yang akan dipergunakan untuk meng-cover perubahan.
e. Menyampaikan komunikasi secara benar terhadap strategi yang akan dipergunakan kepada semua departemen
f. Budaya organisasi yang tidak resisten terhadap hal baru maupun berbagai perubahan.

Tantangan – tantangan diatas apabila tidak dapat diakomodir maka akan mengakibatkan adanya ketidaksesuaian antara kondisi yang ada dengan strategi yg dipergunakan sehingga akan mengakibatkan adanya penurunan pada output akhir yang akan diterima oleh pelanggan akhir (end customers). Penurunan ini akan mengakibatkan turunnya kepuasan pelanggan yang pada akhirnya akan mengakibatkan berkurangnya profitasibilitas yang pada akhirnya bisa membuat organisasi menjadi decline / mati.

Kondisi-kondisi tersebut dapat disiasati dengan :
1. Adanya keseragaman paradigma dari semua komponen organisasi untuk mensikapi perubahan secara benar dan kepekaan terhadap informasi yang ada.
2. Penggunaan sistem informasi yang terintegrasi yang dapat dipergunakan untuk :
a. Meng-capture informasi perubahan faktor external
b. Menampung informasi-informasi pendukung
c. Mengolah data dengan akurasi tinggi
3. Penyampaian komunikasi secara jelas dan mudah dipahami kepada semua bagian terkait terhadap strategi yang dipergunakan dan adanya tanggung jawab menyeluruh dari bagian-bagian tersebut terhadap output yang akan diperoleh.

Channel / Saluran Distribusi

Di dalam flow distribusi product, terdapat beberapa type saluran distribusi yang dipergunakan sebagai pola untuk mengalirkan product dari manufacturing ke consumer,dimana hal tersebut dipergunakan untuk mendekatkan product dengan konsumen. Perbedaan panjang dan pendeknya type-type saluran distribusi dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Zero Level Channel
Dalam bentuk ini antara produsen dan perusahaan dan konsumen akhir tidak terdapat pedagang perantara, penyaluran langsung dilakukan perusahaan pada konsumen. Misalnya: Penjualan mesin komputer langsung kepada perusahaan yang membutuhkannya.
2. One Level Channel
Disini hanya terdapat satu pedagang perantara. Pedagang perantara ini pada pasar konsumen disebut retailer, sedangkan pada industri disebut dengan agen atau broker.
3. Two Level Channel
Disini terdapat dua pedagang perantara dalam pasar konsumsi terdiri dari wholesaler dan retailer.
4. Three Level Channel
Pada tahap ini terdapat tiga perantara yaitu wholesaler, retailer dan Jobber, dimana Jobber selalu terdapat diantara wholesaler dan retailer. Jobber membeli dari wholesaler dan menjual kembali kepada retailer yang pada umumnya tidak dilayani oleh pedagang besar.

Type-type saluran distribusi yang dikemukakan diatas ditentukan pada penggunaan lembaga-lembaga perantara yang berada diantara produsen dan konsumen. Dalam hal ini perusahaan dapat memanfaatkan sesuai dengan kebutuhan.
1. Penyaluran langsung. Dalam sistem ini tidak ada pedagang perantara. Pembeli langsung kepada perusahaan atau produsen. Misalnya jika seseorang membeli ikan kepada nelayan untuk konsumsi.
2. Penyaluran tidak langsung. Disini terdapat pedagang perantara yaitu pengecer. Misalnya jika kita membeli sebungkus rokok dari warung, maka warung tersebut adalah pengecer. Dalam penyaluran tidak langsung ini terdapat lebih dari satu pedagang perantara, yaitu pedagang besar dan pedagang pengecer.

Senin, 17 Agustus 2009

Sales Force Automation System (SFA) dan Performance

Sebenarnya apa keterkaitan antara Sales Force Automation System (SFA) dan Performance?
Banyak organisasi beranggapan bahwa penggunaan IT (Information Technology) dalam hal ini Sales Force Automation System (SFA) akan berdampak positif terhadap peningkatan performance. Sales Force Automation System (SFA) dianggap bisa memperpendek dan mempercepat aliran informasi dari pasar ke jajaran management. Bayangkan saja, informasi yang ada di pasar tradisional pun dapat dengan cepat sampai di management, seperti informasi yang berkaitan dengan customer, ketersediaan produk (availibility product),aktivitas kompetitor ataupun berbagai informasi pasar lainnya , sehingga hal tersebut dapat dipergunakan dalam penyusunan action plan untuk mensikapi kondisi tersebut.

Tentunya, kondisi tersebut selain dipengaruhi oleh desain aplikasi dari Sales Force Automation System (SFA) dan sistem pendukungnya, juga sangat dipengaruhi oleh kemampuan dari sales force itu sendiri yang mempergunakan System tersebut. Secanggih apapun System tersebut, apabila input informasi yang dilakukan oleh sales force tidak akurat maka outputnya akan menjadi salah (Garbage In - Garbage Out) dan akibat fatalnya, keputusan yang diambilpun akan menjadi salah, dampaknya bukan peluang yang akan diraih bahkan ketidaksesuaian informasi itu akan berdampak besar cost yang akan ditimbulkan.

Berbagai penelitian yang dilakukan oleh para akademisi saat ini, mulai bergerak dari penyediaan aplikasi menuju ke proses entry informasi yang akurat. Penelitian-2 tersebut telah menemukan bahwa akurasi informasi akan sangat berhubungan dengan user acceptance yang akan berdampak terhadap keberhasilan Sistem Informasi dalam mendorong peningkatan performance. Nah bagaimana men-drive agar user yang mempergunakan Sales Force Automation System (SFA) dapat melakukan proses entry secara akurat?

Minggu, 16 Agustus 2009

History of Sales Force Automation System (SFA)

Kemunculan sistem SFA dimulai pada tahun 1980an, ketika laptop mulai dikenalkan, kemungkinan dan impian dari salesforce automation mulai dimunculkan oleh perusahaan-perusahaan besar, Engle et al. (2000). Team manajemen mulai memikirkan kemungkinan penggunaan sistem SFA oleh salesforce. Pada akhir tahun 1980an, success story perihal penggunaan SFA mulai muncul. Beberapa sistem SFA dilaporkan dapat meningkatkan penjualan antara 10 – 30% atau lebih sedangkan investasi yang dikeluarkanpun sudah dapat kembali 100%,Moriarity et al. (1989) dalam Engle et al. (2000). Hal ini semakin meningkatkan jumlah perusahaan yang ingin mengimplementasikasikan sistem SFA dalam rangka menghadapi kondisi pasar yang semakin kompetitif.

Salesforce automation system merupakan bagian dari salesforce management system yaitu sebuah sistem informasi yang dipergunakan di bagian pemasaran atau manajemen untuk melakukan proses otomatisasi penjualan atau fungsi manajemen tenaga penjualan. Menurut Proponent (2006), manfaat dari sales force management system ini adalah untuk meningkatkan performance / kinerja dari salesman / tenaga penjualan, sebagai contohnya :
a. Salesman tidak perlu menulis laporan penjualan, laporan aktivitas / call sheets, karena semua aktivitas tersebut akan dilakukan di dalam system. Hal ini akan menghemat waktu.
b. Untuk keperluan pencetakan laporan, dan menyampaikan laporan tersebut kepada sales manager, maka salesman dapat mengunakan sistem intranet untuk mentransmisikan informasi.
c. Untuk keperluan data inventory, daftar prospek penjualan maupun informasi pendukung penjualan dapat secara mudah di akses, karena semua data telah tersedia. Hal ini akan sangat berguna didalam menentukan rencana pengembangan selanjutnya.

Tujuan utama dari suatu sistem SFA adalah dukungan yang diberikan secara otomatis untuk pengumpulan, integrasi, distribusi dan penyajian informasi. Dukungan tersebut bisa mengurangi frustasi salesforce berkaitan dengan aktifitas- aktifitas non penjualan dengan asumsi informasi yang ada pada sistem tersebut adalah akurat. Selain bermanfaat untuk fungsi penjualan, sales force management system juga berguna bagi para manajemen, manager maupun supervisor di dalam melakukan proses Planning, Organizing, Directing and Controlling terhadap salesman yang menjadi bawahannya.

Meskipun banyak keuntungan yang didapatkan dengan penggunaan sistem SFA, akan tetapi menurut Blodgett,1995 dalam Parthasarathy dan Sohi (1997) ditemukan bahwa hampir 75% project sistem SFA berakhir dengan kegagalan, padahal biaya yang sudah dikeluarkan besar.

Sales Force Automation Sistem (SFA)

Penggunaan salesforce automation (SFA) system merupakan salah satu pemanfaatan teknologi informasi yang bertujuan sebagai salah satu alat untuk meningkatkan kinerja sales force/salesman/tenaga penjual dan juga berfungsi sebagai alat bantu yang dapat dipergunakan untuk mengumpulkan data pasar, mencatat transaksi, dan mengirimkan data - data tersebut ke sistem (back office) utama perusahaan, yang nantinya dipergunakan sebagai sumber informasi untuk departemen sales.
Sales force sebagai ujung tombak perusahaan yang berhubungan langsung dengan distributor (fihak luar) ataupun konsumen selain menjalankan fungsi penjualan, distribusi produk juga sekaligus mengumpulkan informasi pasar. Dalam melakukan aktifitas tersebut, sales force memerlukan alat bantu untuk mempermudah dan melancarkan kegiatan hariannya. Kegiatan operasional sales force akan berhubungan dengan metode penjualan dan model distribusi produk dari perusahaan yang berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lain. Metode penjualan dan model distribusi produk juga merupakan satu strategi yang dipergunakan setelah melalui proses pengamatan terhadap faktor ekternal dan internal perusahaan. Distribusi produk merupakan satu rantai arus aliran produk mulai dari manufacturing, kemudian ke channel dibawahnya (sub distributor) sampai pada level toko-toko retail yang diharapkan akan mempermudah konsumen di dalam mendapatkan produk. Dari uraian tersebut, dapat diketahui bahwa distribusi merupakan strategi perusahaan di dalam menyebarkan produknya untuk lebih mengenalkan dan memasarkan produk pada berbagai tingkatan distributor dengan harapan akan semakin mendekatkan produk pada konsumen akhir, sehingga selain mempermudah konsumen di dalam mendapatkan produk juga merupakan satu keselarasan strategi di dalam aktivitas marketing. Dengan demikian pola distribusi produk pada perusahaan – perusahaan khususnya pada consumer goods tidak dapat sepenuhnya tergantung pada channel agen atau toko – toko grosir tetapi juga harus mempertimbangkan konsistensi distribusi pada toko-toko yang lebih dekat dengan konsumen.

Perlunya konsistensi aliran distribusi produk pada toko-toko yang dekat dengan konsumen seperti warung, kantin, dan lain–lain akan memerlukan satu proses aliran yang mengarahkan produk untuk dapat sampai pada level distributor tersebut. Proses aliran produk ini selain memanfaatkan jaringan dari sub distributor diatasnya, juga memerlukan penggunaan tenaga salesforce untuk menjaga pemerataan distribusi di level tersebut.
Untuk itu diperlukan penggunaan teknologi sebagai alat bantu proses Planning, Organizing, Directing and Controlling yang mengarahkan dan mempermudah proses kerja sales force. Aplikasi teknologi ini di desain sesuai dengan proses yang dilakukan oleh sales force pada saat melakukan operasional penjualan, sehingga menjadi standar operasional agar tidak terdapat penyimpangan terhadap aturan perusahaan maupun meminimalkan gap antar salesforce, khususnya yang berhubungan dengan pengalaman maupun kompetensi antar salesforce. Hal ini sesuai dengan penelitian Keillor, et al, (1997). bahwa dengan teknologi perusahaan akan lebih efektif karena lebih mudah di dalam memberdayakan dan mengatur sales force.
Penggunaan SFA sebagai bentuk implementasi strategi fungsional pada departemen sales, dimana sistem SFA yang dirancang, diharapkan memudahkan sales force dalam mengakses dan memberikan informasi dengan cepat, sehingga bisa memberikan manfaat dalam merealisasikan penjualan dan meningkatkan produktifitas.
Dukungan tersebut bisa mengurangi frustasi sales force berkaitan dengan aktifitas-aktifitas non penjualan (administrasi pencatatan penjualan, rekapitulasi data distribusi dan survey pasar/kompetitor) yang diperlukan oleh departemen sales pada berbagai tingkatan manajemen untuk keperluan analisa data pasar maupun supporting untuk penjualan.
Meskipun keuntungan dari sistem SFA banyak dikemukakan, namun tingkat keberhasilan implementasi sistem SFA masih rendah (Schaffer 1997,Stain 1998) dalam Gohmann,et al. (2005). Para peneliti saat ini mengevaluasi penyebab kegagalan implementasi SFA ( Keillor et al.1997; Parthasarathy et al. 1997; Rivers et al. 1999; Engle et al. 2000; Morgan et al. 2001; Erffmeyer et al. 2001; Pullig et al. 2002; Speier et al. 2002; Jones et al., 2002;Widmier et al., 2002) dalam Gohmann,et al.(2005), dimana dari hasil penelitian, ditemukan bahwa penerimaan sales force (user acceptance) terhadap sistem SFA merupakan faktor yang sangat penting dalam keberhasilan penerapan sistem tersebut. User acceptance adalah seberapa jauh individu merasa tidak mengalami tekanan yang tidak menyenangkan dan merasa nyamaan ketika menggunakan atau terlibat dalam suatu lingkungan baru. Perasaan ini akan timbul ketika individu tersebut bahwa kinerjanya akan lebih baik jika berada dalam lingkungan tersebut ,Kustono (2000) dalam J. Widyatmoko (2004).
Bagaimana dengan implementasi SFA di Indonesia???.